Semacam menumpuk rindu,
menyimpannya dalam karung-karung
di kolong tempat tidur,
di balik lemari,
di bawah bantal,
di taman belakang rumah.
Satu dua disimpannya dalam gelap,
sendiri,
dengan jemari yang bergemeletuk,
atau nafas tertahan,
atau mata yang menunduk-nunduk.
Dua tiga disimpannya di terang benderang matahari,
agar ia tumbuh,
tinggi,
bermekaran.
Berbasuh hujan atas doa, berbalut senyum paling sumringah.
Kelak, ketika genap sebagian dirinya,
dibukanya karung itu,
diambilnya rindu satu-satu,
dibungkus kertas sewarna perdu.
Dan,
taraaaaaa..
Ini rindu,
ku,
pada,
mu.
Dua puluh satu kali matahari berevolusi,
mungkin sebagiannya rapuh, layu, kuyu,
tapi tetap akan ada berbaris-baris yang membuncah,
menyala,
menggegap-gempita.
Ini rindu,
ku,
pada,
mu.
-Pasuruan, 24 Agustus 2013-
—
Dibuang sayang, tulisan lama, hari-hari menjelang pernikahan. Semacam menumpuk galau alih-alih rindu. Dulu, sejak SMA–sejak hijrah dan ikut Rohis SMA–saya masih ABG dan berbunga-bunga, tapi cukup yakin untuk kukuh tidak pacaran dan mengazzamkan diri ingin nikah muda.
Kemudian, karena galau yang tidak tersalurkan (daripada nulis galau di facebook dan dibaca banyak orang kan, malu-maluin) saya menulis surat untuk calon suami, isinya macam-macam, tentang impian-impian, kejadian menyenangkan, rindu yang meletup-letup, yah lebih mirip diari sih ketimbang surat, hehe. Surat itu saya tulis, saya tumpuk dan saya masukkan dalam kotak bekas sepatu. Ketika merantau kuliah, surat-surat itu tetap saya bawa ke kosan saya, Saung Rosita kamar nomor 5, disembunyikan dibawah kolong tempat tidur. Sejak kuliah, isi suratnya semakin beragam. Seperti,
“Mas, aku pengen banget kuliah di UGM, mungkin sapatau kita ketemu di UGM yah mas. Barangkali Mas kakak kelasku, atau temen sekelasku hehe. Mas kuliah apa? Sekarang kuliah atau malah udah kerja? Doakan aku lulus UN ya. Bla bla bla…”
“Mas, aku ga lolos UGM, dan ternyata ga jadi kuliah di UB, padahal Bapak udah susah-susah cari uang buat bayar UB yang mahal banget itu. Aku sekarang di STAN. Mas jangan-jangan anak STAN juga? Soalnya anak STAN banyak yang nikah sesama anak STAN loh, bla bla bla…”
“Mas, aku ikut demo loh ke Senayan sama anak-anak BEM, walaupun ujung-ujungnya dicegat satpam sih haha. Yang KPK vs DPR itu. Mas suka demo juga ga ya? Atau jangan-jangan Mas studi oriented ya belejar terus? Bla-bla-bla…”
“Mas, aku udah tingkat 3 sekarang, masa cobaaa aku dikasih proposal ikhwan sama Murobbiyahku. Kakak kelasku SMA, aku kenal sih tapi ya ga kenal-kenal amat. Aduh aku galau deh. Padahal proposal outline-ku belum disetujui nih sama Dosen Pembimbing. Aku juga gatau nanti mau PKL dimana, belum ujian semester juga, aku bingung harus mikirin yang mana dulu iniih, bla bla bla…”
“Mas, aku udah selesai ujian semesternya alhamdulillah, sekarang ini aku mau berangkat ta’aruf ke rumah Mba **** Duh aku deg-degan iiiiiiiiiih aku mau ngomong apa yaaah nanti. Ini mas suami bukan ya? Ini yang lagi ta’aruf sama aku dirimu beneran bukan yah mas… Kan ada tuh yang ta’aruf tapi ga jadi, ada juga yang jadi, nah aku gatau nih ikhwan ini beneran suamiku apa bukan ya, bla bla bla…”
Begitu terus-menerus, sudah bertahun-tahun. Hingga kemudian saya beneran menikah, dan ratusan surat dalam kotak bekas sepatu itu saya serahkan ke suami saya, pada malam pertama kami, seakan berkata:
Ini aku, sudah mempersiapkan diri dan sudah mencintaimu sejak bertahun-tahun yang lalu. Sejak aku bahkan belum tahu siapa kelak suamiku. Sejak aku bahkan belum bertemu denganmu.
Suami saya menerima sekotak surat itu dengan speechless. Mungkin dia pikir saya kurang kerjaan kali ya nulis surat sampe sebanyak itu, hahaha. Tapi toh dibaca juga surat-surat itu, entah berapa ratus jumlahnya, khatam hanya dengan semalaman.
Dan sekarang, suratnya hilang entah dimana… Kami sudah 4 kali pindah kontrakan sih ya, jadi sudah tak terfikir itu surat dimana. Semoga masih ada di salah satu sudut kontrakan kami, karena kalau sampe dibaca oranglain, saya maluuuuuu bukan main pastinya >,<
Ah, sudah 2,5 tahun menikah. Dan, ternyata menikah itu memang beneran seru yah :’)
ih… so sweet banget sih mbak. kirain nulis surat-surat gitu cuma fiktif belaka, eh ini ada bentuk nyatanya. ah… jadi pengen nulis surat juga. tapi umur udah segini, jadi ga sesemangat dulu. hm… mbak so sweet sekali 🙂
hihihi, nulis ajaaa, justru bagus kalau nulisnya pas udah dewasa jadi suratnya lebih berbobot, ga kayak aku isinya alay semua haha
haha,. senyum2 bacanya..
kira2 dia nulis surat kayak mbak juga ngga ya?.. 😆
Ah dia mah ga hobi nulis apalagi nulis surat model begini 😀
Haha,. ngga papa mbak ga nulis.. Saya tetap bisa denger ceritanya.. tsaah..
Haha jadi gitu ya 😀
kak aku mearsa suratnya romantis
Aku tadinya juga menganggap ini romantis, tapi sekarang kok malah menganggap ini alay ya hehehe *terus jadi malu* 😀