Menulis

Ayat Ayat Cinta 2

IMG-20160112-WA0001 (1)
Ayat Ayat Cinta

Sepuluh tahun yang lalu, saya begitu jatuh cinta dengan kisah ini. Pada Fahri, dengan kesholihannya. Pada Aisha, dengan pesona muslimahnya. Pada Maria, dengan kedalaman cinta yang ia punya. Bagi saya, novel Ayat-Ayat Cinta ini nyaris sempurna. Ia indah dan mempesona. Membuat saya kagum bahwa ternyata agama saya ini luar biasa. Juga membuat saya tertohok karena saya sungguh jauh dari mereka.

Lantas berbekal pengalaman istimewa itu, saya pun akhirnya membaca Ayat-Ayat Cinta 2. Kelanjutan kisah Fahri dan Aisha.

Sejujurnya, sulit saya mengakuinya, tapi memang saya agak kecewa. Secara keseluruhan, kisah ini tetap apik dan menarik. Tapi bahkan secara tidak langsung, kepala saya otomatis membanding-bandingkan antara AAC 1 dan AAC2. Dan boleh dibilang, kualitasnya jauh dibawah.

Ah, siapalah saya ini, penulis blog abal-abal yang mengkritik penulis besar seharum Habiburrahman El-Shirazy. Tapi marilah, sejenak saja kita kupas satu-satu novel ini, setiap positif dan negatifnya.

 

Buku yang Tebal

Begitu melihat novelnya, ternyata tebal juga. Saya kemudian semakin dibuat penasaran, karena setahu saya, Kang Abik ini termasuk penulis yang efisien. Maksudnya, ia tak banyak membuat kisah-kisah sampingan. Di dua buku favorit saya; Ayat-Ayat Cinta dan Bumi Cinta, dua buku itu luar biasa efisien. Tebalnya sedang, dan kisahnya fokus, setiap kisah yang bukan berasal dari tokoh utama pastilah bermanfaat untuk jalannya cerita. Tidak bisa dibilang membosankan, karena cerita yang fokus akan lebih menarik untuk diikuti jika si penulis lihai meraciknya. Berbeda dengan kali ini, bukunya yang tebal membuat saya agak curiga mulanya, jangan-jangan Kang Abik tidak seefisien dulu. Dan ternyata iya.

Kecewa? Hmmmm tidak juga. Kisah-kisah ini, walaupun kehadirannya tidak terlalu nyambung dengan jalannya cerita utama, dan walaupun ada atau tidak adanya kisah ini toh ga terlalu pengaruh juga, tapi ia tetap tidak layak untuk di-skip dari halaman baca kita.

Debat di Oxford Union misalnya, saya tidak merasa ada sumbangsih jalannya cerita disini. Tidak membuat Fahri kemudian bertemu Aisha atau apapun semisalnya. Kalau adegan ini dibuang, tidak masalah juga kan. Tapi hadirnya tetap dibuat ada oleh Kang Abik, karena barangkali, ia memang sengaja mengedukasi para pembacanya. Banyak adegan-adegan serupa yang kurang match dengan jalan cerita, tapi memang bagus untuk menambah khasanah pengentahuan kita akan Islam dan keindahannya.

 

Harta yang Melimpah

Saya sebenarnya agak sebal karena Fahri disini luar biasa kaya, bahkan ada satu kalimat yang—saya menangkapnya—ia sekaya David Beckham, atau mungkin lebih. Kenapa saya sebal? Karena seakan-akan Fahri ini ga terlalu bekerja keras dalam bisnisnya, tapi kayanya tiada tara. Okelah ya, sebagian besar memang karena dari sononya Aisha sudah kaya raya tujuh turunan, dan sebagai suami tentu Fahri ikut menikmatinya juga. Walau tetap saja saya agak kurang puas, harusnya ada lebih banyak adegan yang menggambarkan bahwa Fahri pun berjuang dalam hal maaliyah, seperti ia berjuang di kampusnya.

Hoiya, tentang kedermawanannya yang waah, saya tidak terlalu terganggu. Malah bersyukur karena diingatkan lewat kisah ini. Bersikap baik kepada tetangga tidak cukup dengan sekadar tersenyum ketika lewat depan rumahnya, tapi lebih jauh dari itu. Saya membayangkan sosok Abdurrahman bin Auf atau Abu Bakar As-Shiddiq yang kaya raya dan sungguh pemurah, barangkali Kang Abik disini ingin mengatakan pada kita, bahwa beginilah seharusnya kita dalam bertetangga.

 

Tempo Jalannya Cerita

Yang paling membuat saya gemas adalah tempo jalannya cerita yang lamban sekali. Tiga perempat bagian novel hanya berkutat dengan Fahri, kampusnya, dan bayang-bayang Aisha. Tiga perempat novel lho! Dari buku setebal itu, tiga perempatnya hanya muter disitu-situ saja. Barulah di seperempat novel, tempo berjalan cepat, tapi justru malah terlalu ngebut bagi saya. Tiba-tiba Hulya datang, mengubah kisah Fahri, kemudian ia pergi. Cepat sekali. Jauh berbeda dengan awal-awal kisah yang lamban dan merambat, saya jadi merasa kurang suka disini 😥

Dan ohya, Aisha. Barangkali memang niat awal saya membaca ini adalah ingin tahu kisah Fahri dan Aisha, bukan Fahrinya saja. Jadi ketika Aisha tidak ada, dan cerita enggak maju-maju disitu-situ aja, saya jadi hampir menyerah. Walau saya sebenarnya sudah bisa menebak nasib dan keberadaan Aisha—dan memang kayaknya agak mudah untuk ditebak—saya ngga menduga kalau ternyata bahkan Aisha hanya dapat porsi kecil saja. Cuma beberapa halaman saja, barangkali. Dan kemudian the end. Aduh, plis plis pliiis Kang Abik, kenapa kisah Aisha digambarkan dengan tergesa-gesa dan sedikit bangeet. Inilah yang paling membuat saya kecewa 😦

 

Ketimpangan Hubungan

Disini, Fahri digambarkan amat erat hubungannya dengan keluarga Aisha. Ia pun juga saaaaangat menyayangi tetangganya. Tapi barangkali Kang Abik lupa, atau mungkin saya yang terlewat membacanya, seakan-akan Fahri lupa pada keluarganya di Indonesia. Bukan, kalau untuk teman-temannya sesama orang Indonesia yang merantau di Inggris, dia tetap berhubungan baik. Tapi saya agak kecewa karena bahkan di momen besarnya, kok Fahri ngga sekadar telepon ke keluarga di Indonesia untuk memberitahukan dan memohon doa dari mereka?

 

Kesetiaan dan Romantisme Suami Istri

Saya sudah menikah, okey, itu harus digarisbawahi. Tapi saya justru merasa adegan-adegan Fahri dan Aisha, atau Fahri dan pengganti Aisha (no spoiler hehe) adalah adegan yang unyu tiada taraaa. Aaaa suka suka banget deh. Setidaknya ini yang membuat saya galau. Duh, saya udah nikah tapi kayaknya ga seromantis mereka. Hiks. Ada banyak hal yang bisa ditiru dari adegan romantic ini. Misalnya saja, Aisha yang memakai gaun malam dan menggesek biolanya, atau Aisha yang mempersiapkan malam istimewa di hotel untuk mereka berdua, atau Fahri yang membatalkan janji dengan Professornya demi menyenangkan hati Aisha, dan yang paling paling paling membuat saya tersentuh adalah kisah kesetiaan Fahri. Betapa Aisha sungguh menggenggam erat hatinya. Sampai-sampai bahkan ketika ia sudah harus melupakan Aisha, ia tetap saja tidak bisa melupakannya.

Pembelajaran pun saya dapatkan dari sosok Hulya. Mula-mula saya tidak suka padanya, datang ujug-ujug dan membuat saya cemburu. Tapi ketika dia pergi, saya kok jadi nangis juga. Teringat betapa ia bersungguh-sungguh ingin menjadi yang terbaik bagi suaminya, bahkan untuk urusan ranjang yang—euh, kalau saya mungkin sudah luar biasa sakit hati. Sosoknya jernih, dan ia dengan sempurna memberikan contoh betapa istri itu memang harus sabar dalam membantu menyembuhkan luka-luka suami. Sekilas, saya jadi teringat sosok Maria dalam AAC 1. Tidak sama memang antara Hulya dan Maria, tapi dalam plotting cerita, keduanya bisa dikatakan punya peran dan porsi yang sama dalam cerita.

 

 

Secara keseluruhan, bagi saya, buku ini tetap apik dan menarik. Ia layak dibaca dan dijadikan salah satu buku favorit kita. Walau memang tidak sebagus pendahulunya; Ayat-Ayat Cinta, tapi ia memberikan kita banyak pengetahuan dan wawasan yang mungkin tidak kita temukan dalam novel-novel lainnya. Tentang keseluruhan hidup Fahri yang sangat bisa kita teladani. Habitnya, niatnya, cara dia melakukan sesuatu, caranya memandang sesuatu. Bahkan itu wajib kita tiru.

Sebagian diri saya memprotes, seharusnya sosok utama ga boleh digambarkan dengan sesempurna itu. Tapi yah, saya tetap percaya bahwa novel pun adalah sarana dakwah. Kang Abik sedang mengajak kita untuk menjadi sosok muslim yang sebenarnya, yang apabila kita renungkan, perilaku muslim memang seharusnya agung, mulia dan sempurna.

 

Selamat membaca bagi yang belum, dan bagi yang sudah membacanya, selamat meneladani kisah ini dan menerapkannya dalam sehari-hari! 🙂

15 thoughts on “Ayat Ayat Cinta 2

  1. Wah…. jadi penasaran… saya baru slesai membaca bumi cinta dan menurut saya lebih bagus daripada AAC1. Kalau yang ini masih di bawahnya AAC1… jadi mikir2 yang mau baca hehehe. Kang abik emang karakternya begitu… menggambarkan pemeran utama sebagai sosok yang nyaris sempurna yang bahkan saya belum pernah nemuin di sekitar saya. Bahaya juga sih kalau ada… bisa2 saya kejar2 wkwkwk

    1. Iyaaa Bumi Cinta itu bagus banget kaaan, saya juga suka bangeet..
      AAC2 baca aja gpp, banyak wawasan Islamnya walau ceritanya kurang oke, baca aja tapi gausah beli mending minjem temen hehe *saran macam apa* 😀

      1. tapi aku setuju loh mbak, hehe. Belum baca, dan berniat minjem aja. Memang rata-rata model cerita kang abik tentang cinta-pernikahan-dkk kan ya? Api tauhid juga begitu. Yang bikin bagus kisah said nursinya aja. Kalo baca AAC 2 inget mahasiswa indonesia yg persis fahri: nikah sama bule darah turki-prancis, sekarang tinggal di eropa (inggris)

      2. orang itu kasih endorse di halaman awal mbak. Namanya Muhammad Elvandi. Kisah hidupnya persis Fahri. Kuliah di al azhar, menikah sama muslimah turki-prancis, sekarang kuliah pasca di manchester, duh kece lah

      3. Ohiya kah? Masya Allaah *brb liat endorse buku*
        Saya punya buku judulnya “Inilah Politikku” dan penulisnya sih Muhammad Elvandi, tapi entah apakah ini orang yang sama atau bukan hehe

      4. tapi kayaknya kang abik nggak terinspirasi dari beliau. Soalnya kang abik pernah bilang kalau di al azhar sana, orang macam fahri banyak. Di indonesia aja nggak keliatan, hehe.

      5. Oh gitu ya, tapi tetep keren ih bagikuu.. Dulu banget sampe berdoa pengen punya suami kayak Fahri hahaha.
        Mba sekar tau banyak yaaa fans fanatik nih jangan-jangan 😀

      6. enggaaaaaaak hahaha. Suka banget sama aktivitas membaca dan dunia literasi, mbak. Jadi kalo soal buku dkk, aku keponya total sampek dibelain begadang. hahaha

Leave a comment