Beberapa waktu yang lalu, suami saya yang masih berstatus sebagai Pegawai Tugas Belajar (PNS yang dibiayai Negara untuk melanjutkan jenjang akademis lebih tinggi tanpa ada kewajiban bekerja selama masa pendidikan) ditunjuk untuk mengikuti penugasan dari kampus yang bekerjasama dengan instansi pemerintah yang lain. Penugasan ini memang khusus untuk mahasiswa semester akhir, itu pun tidak semua mahasiswa. Dan sebenarnya materi penugasan ini tidak banyak diajarkan dalam kurikulum pendidikan. Singkatnya, mahasiswa yang ditunjuk untuk penugasan ini diwajibkan untuk mengikuti diklat khusus yang diadakan untuk memudahkan pelaksanaan tugas.
Diklat ini dilaksanakan selama satu pekan dan pelaksanaannya fulltime di Hotel. Jadi mahasiswa memang disediakan fasilitas berupa kamar dan makanan gratis selama satu pekan penuh.
Ada yang menarik dari pengalaman satu ini. Suatu ketika di sebuah kajian, saya dan beberapa ibu muda sedang ngobrol.
Ibu 1 : “Nanti dijemput ga, Mba Fira?”
Saya : “Enggak Bu, suami lagi diklat di hotel. Saya pulang sendirian.”
Ibu 1 : “Wah enak dong. Kok ga ikut aja ke hotel? Kan mumpung belum ada buntutnya, bisa ikut suami kemana-mana. Lumayan kan tidur hotel!”
Ibu 2 : “Iya Mba, ikut aja! Kalau saya mah ikut suami deh hehe…”
Saya sebenarnya kaget dengan respon mereka. Sayangnya saya cuma bisa tersenyum menanggapi. Mau bilang apa juga bingung, ini ibu-ibu kajian lho, masa sih ga ngerti kalau fasilitas kerja suami itu bukan hak kita-kita sebagai istri?
Belum hilang keheranan saya, ditambah lagi suami yang lebih memilih pulang-pergi dari hotel ke rumah dan tidak memanfaatkan fasilitas kamar yang disediakan. Apa pasal?
Ternyata teman sekamarnya mengajak istri dan anaknya untuk menginap bersama. Saya tiba-tiba membayangkan bagaimana kalau saya jadi suami, tentu saja saya jadi rikuh dan tidak nyaman. Masa mau tidur bareng keluarga orang? Walaupun memang ada 2 beds dalam 1 kamar, dan suami berhak atas fasilitas kamar itu, pada akhirnya suami memberikan haknya untuk digunakan teman sekamarnya, istri dan anaknya.
Di titik ini saya jadi merasa bahwa kesadaran kita akan penggunaan hak terhadap fasilitas yang disediakan ternyata belum lah dimengerti oleh semua orang. Fasilitas kerja suami, seperti hotel ketika diklat misalnya, memang sih sebenarnya tidak sampai taraf merugikan negara, tapi saya rasa kita sepakat bahwa kita pun punya etika dalam penggunaan fasilitas. Tidak semua yang diberikan kepada suami juga boleh dinikmati oleh istri dan keluarga. Apalagi jika ini menyangkut tugas dan fasilitas yang diamanahkan oleh negara.
Sebagai istri dari PNS (dan mantan CPNS yang sempat digembleng dengan nilai-nilai integritas, hehe) saya paham betul bahwa semua fasilitas ini disediakan oleh seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, lewat pajak yang dengan tulus mereka bayarkan demi tegaknya Negara. Maka alangkah sakit hatinya para rakyat ini, jika uang yang mereka ikhlas berikan ternyata juga dimanfaatkan oleh yang tidak semestinya, yang tidak berhak atasnya.
Maka mari yuk ibu-ibu, mbak-mbak, segenap istri yang shalihah, mari kita jaga diri kita dan keluarga kita dari yang bukan hak kita. Cukuplah bagi kita yang pasti-pasti saja, yang sudah jelas halalnya. Fasilitas kerja suami biarlah suami yang memanfaatkan, kecuali jika memang ada kegiatan Family Gathering atau semacamnya, boleh lah kita ikut-ikutan. Tapi kalau dinas? Lebih baik jangan. Saya yakin kita pasti paham mana yang hak kita dan mana yang bukan. Walaupun saya yakin, pasti sedih dan kesepian ya kalau ditinggal suami pergi-pergi apalagi sampai nginep 😦
Semangat mendukung suami kerja, demi pundi-pundi rezeki yang halal dan berkah… 🙂
memang harus bijak dalam menggunakan fasilitas kantor, karena itu bukan sepenuhnya haknya
Sepakat! 🙂
“….lewat pajak yang dengan tulus mereka bayarkan demi tegaknya negara…” Hihihi agak-agak gimanaaa bacanya
Nah jadi selama ini ga tulus ya Mas bayar pajaknya? 😀
Tulus ga tulus sih, soalnya langsung dipotong kantor. Nyeseknya pas liat nominal pelaporan di SPT. Pediih rasanya haha
Kalau nominalnya besar kan berarti penghasilannnya memang besar mas, hihi 😀
Sip Mbak: mari hindari diri daro tindakan koruptif apapun 😃
Semangat! hehe 😀
setuju. demi kehati-hatian karena bukan hak kita/keluarga. tapi kalau dari sisi halal haram kadang aku masih ragu. kayak kasus kemarin nih. misalnya, aku sekamar sama temen. nah temenku itu di akhir penugasan memang ga nginep dan mempersilakan kalau aku ajak anakku. kan jadi galau.
atau misalnya kamar ‘nyisa’ ini bisa dianalogikan dengan snack rapat yang nyisa. kan sering misalnya rapat snacknya berlebih dan akhirnya dapet jatah 2.
Terus jadinya anaknya diajak ga mb? Aku juga baru kepikiran sih kalau dari sisi ibu-ibu yang dapat fasilitas dan si ibu punya bayi. Kalau yang ku tulis ini kan emang versi Bapak-Bapak ya…
Biasanya yang ngajak anak istri karena dapat 1 kamar sendiri.. bukan yang 1 kamar berdua.. hhheu…kesian temen sekamar yak..
Tapi emang sering ya mba dapat satu kamar sendiri gitu? Aku sih selama ini, dengan pengalaman seuprit, dapatnya selalu sekamar berdua atau lebih…
baguslah…
dari pada ketika tempat kerja suami bangkrut baru nyadar 🙂
salam kenal.
Siap, salam kenal juga 🙂
komentar gak ditampilkan ya gak apa-apa lah….
🙂
Ditampilkan kok Pak/Bu, kalau baru pertama komen memang mekanismenya begini, ga langsung muncul tapi diapprove dulu. Nah kalau setelah komentar pertama approved, komentar2 selanjutnya langsung otomatis muncul tanpa approval. Mohon tidak suudzon dulu 🙂
Hikmahnya, fira jd bs ketemu suami tiap hari walaupun suami sedang diklat 😀
Iyaaaa bener banget noop haha
Setujuuu.
Eh tapi saya belum sempat teruji sih.Hihihi
Hihi, nanti kalau sudah teruji cerita ya mbaaa 😀