Sekitar setahun sebelum menikah, saya dan teman-teman kuliah ikut kelas munakahat. Pematerinya Ustadz Masturi Istamar, ustadz favoritnya anak STAN lah bisa dibilang. Diantara berbagai taujih beliau, saya teringat materi tentang beberapa tipikal Rumah Tangga. Ada Rumah Tangga Tarbiyah, Rumah Tangga Ilmu, Rumah Tangga Harta dan beberapa yang lainnya. Saat itu saya mendambakan dua tipikial Rumah Tangga, yaitu Tarbiyah dan Ilmu. Saya rasa untuk dua tipikal ini bisa banget digabung dan justru makin oke. Barangkali bahkan, keduanya ini sebenarnya berkolerasi. Tarbiyah takkan maju tanpa ilmu, ilmu akan hampa tanpa tarbiyah.
Kami mengharapkan sebuah Rumah Tangga dimana anggota rumah tangga ini senantiasa bersemangat mencari ilmu, mencintai ilmu, dan saling mendukung sesama anggota keluarga yang lainnnya dalam hal ilmu. Dan ilmu yang didapat, tak lain dan tak bukan adalah untuk mendidik diri sendiri, meningkatkan keimanan dan ketaqwaan pribadi khususnya, dan agar ilmu yang diperoleh dapat digunakan untuk kemanfaatan ummat.
Cita-cita kami adalah bahwa menikah membuat kami lebih mencintai-Nya, lebih dicintai-Nya, dan lebih bermanfaat untuk masyarakat. Pun, kami juga menjadikan kebangkitan Islam sebagai impian kami, kami ingin ikut berkontribusi, ingin ikut serta dalam barisan orang-orang yang ‘menyalakan lilin,’ ingin ikut menjadi pejuang-pejuang dakwah.
Bagaimana caranya? Ya harus memiliki ilmu.
“Al Ilmu qobla al ‘amal,”
Berilmu sebelum beramal, begitu ucapan Imam Bukhari.
Ah, indah yaaa… 🙂
Diantara sekian banyak detail, sarana, dan karakteristik yang terangkum dalam Rumah Tangga impian kami ini, ada hal kecil yang saya dan suami sangat inginkan sejak masih sekolah dulu. Kami ingin agar ilmu itu dekat, mudah diraih dan ditemui setiap hari. Membuat kita terbiasa, kemudian butuh, kemudian cinta. Dari sebuah cita-cita besar itu, kami mengambil langkah kecil yang sederhana, yang mungkin juga sudah diterapkan oleh jutaan keluarga lain di seluruh dunia.
Iya. Kami pengen bikin perpus sendiri.
Sesaat pasca menikah, saya tidak bisa menyembunyikan kegirangan saya ketika melihat lemari di kamar suami yang isinya lebih banyak buku ketimbang baju. Dan sejak saat itu juga langsung mengikrarkan diri pengen beli rak buku. Sayangnya, status hidup seorang kontraktor tidak mudah. Hehe. Setiap kali mau beli rak buku, selalu saja kepikiran. Aduh kan masih nomaden, sayang kalau beli rak buku ntar pindah-pindahnya. Mau beli rak buku yang kayu beneran (kayu jati dan sejenisnya) harganya belum cocok dengan kantong kami yang pas-pasan, apalagi kalau pindahan pasti berat. Mau beli rak buku bongkar-pasang yang dijual di Gi*nt, Carref*ur, dan sejenisnya, tapi kami sudah pernah patah hati dengan produk lemari sejenis itu. Bukan masalah kuat dan kokohnya, tapi rawan jamuran. Jadilah, selama dua tahun buku-buku kami begitu menderita dalam kardus-kardus 😥
Sampai kemudian kami pindah kembali ke Bintaro, walau statusnya masih tetep kontraktor sih hehe, tapi kami berniat tinggal disini agak lama. Sampai suami lulus kuliah, sampai rumah yang di Bogor sudah siap huni.
Dan, tadaaaa… Kami akhirnya beli rak buku. Bahagia banget lhooo rasanya… :’)
Sederhana ya, bahwa rak buku bisa banget bikin kita bahagia 🙂


Memang sih ujung-ujungnya kami belinya yang bongkar pasang juga, tapi beli yang dari bahan non-woven, semacam kain-plastik gitu. Hah? Rak buku kok dari kain? Roboh dong hehe. Alhamdulillah enggak, karena di tiap raknya ada besinya, jadi ya sebenarnya rak besi bongkar pasang cuma dilapisi kain biar lebih kece. Soal penempilan mah, tetep bagus kok. Setidaknya bagi kami yaaa lumayan lah… Apalagi harganya satu rak ga sampai 200 ribu, hehehe. Apalah daya memang kami cari yang murah, praktis, gampang, kalau rusak yaudah kan ga sakit hati banget karena emang murah 😀

Walau murah tapi lumayan good looking kan yaa? Hehehe. Kami sengaja belinya langsung tiga rak, itu pun ternyata masih enggak cukup. Buku-buku masih ada yang di kardus dan lemari baju, mungkin kapan-kapan kami akan nambah beli satu-dua lagi raknya.
Bentuk rak yang tidak terlalu besar membuat kami jadi mudah melakukan kategorisasi buku. Mulai dari buku-buku Tafsir, Manhaj, Tazkiyatun Nafs, novel islami, novel umum, munakahat, parenting, tahsin-tilawah-bahasa arab, juga tak lupa buku kuliah suami, semua punya rak masing-masing. Jadi kalau mau baca buku jadi gampang deh…
Alhamdulillah, nikmat Allah yang telah karuniakan kami dengan rezeki yang tiada habisnya, tiada putusnya. Sehingga kami bisa beli rak buku murah meriah ini hehehe. Lumayan euy, rak buku beneran kan jutaan harganya 😀
Semoga buku-buku ini tak hanya jadi pajangan, tapi juga menjadikan penghuninya mencintai ilmu, dan senantiasa semangat mencari ilmu di jalan Allah, agar kelak menjadi manusia yang bermanfaat dunia akhirat. Aamiin.
Ayo kita bikin perpustakaan mini di rumah kita masing-masing! 🙂

Great!
Wah ada kak kun..
jadinya beli rak begitu dimana fira??
Di tokopedia mba ziy 😀
Coba cari aja pake keyword “Rak Portable Serbaguna” hihi, semoga ketemu 🙂
Siip. Thank you 😚
mantap nih
Semoga bermanfaat ya
Mbak fira dan suami alumni Stan juga?
Saya lulusan Stan 2012 mbak..
Iyaa, wah kakak tingkat dong ..
Suami lulus 2011, saya lulus 2013. Salam kenal, kak 😀
tapi saya D1,. hehe
iya, salam kenal 🙂
Oalaah, hehe. Btw makasih sudah mampir 😀
wah boleh nih dicoba
Silakaaan…
Ijin share ya Dek Shafira di FB, syukron ….
Silakan, mba 🙂