Dulu, dulu sekali, saya sempat mengharapkan diri akan dinikahi lelaki puisi. Yang pandai bermain kata, meramu rasa, menghidangkan semangkuk cinta penuh kalimat mesra.
Saya membayangkan setiap pagi disambut puisi, setiap malam menutup hari dengan puisi.
Pada fajar dilantunkannya puisi, memandang senja dibisikinya puisi, merayakan matahari sambil berpuisi, menadah hujan bersahutan puisi.
Setiap hari puisi, puisi, puisi.
Tapi kemudian saya dapati lelaki yang kini mendampingi, jangankan puisi, ah sudahlah. Kecewa? Haha. Seharusnya mungkin iya, tapi sungguh, Allah tunjukkan satu hal yang takkan pernah membuat saya kecewa.
Ia jadikan lelaki ini tidak pandai membuat puisi, tapi Ia jadikan lelaki ini mahir membaca puisi.
Lembut menyenandungkan puisi-Nya, merdu melantunkan kalimat-Nya.
Suaranya terasa begitu menenangkan, menguatkan.
Ah, ya.
Karena puisi mana yang lebih indah dari puisi-Nya,
puisi Ia yang menciptakan dia dan saya?
🙂