Perjuangan

Tirani Ketakutan

Mereka, walapun masih muda, berani menentang pemimpin-pemimpin bajingan. Mereka punya keberanian untuk berkata tidak. Bahwa mereka mati itu bukan soal. Mereka telah memenuhi panggilan hati seorang pemikir. Tiada indahnya penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis, selain bicara tentang kebenaran?”

–Gie

 

Kungkungan ini semakin terasa menghimpit, justru ketika saya berfikir saya sudah demikian terinstitusi dengan semua ini. Iya, ada kalanya saya muak dengan setiap ketakutan yang sengaja dibesar-besarkan, atau ketakutan tak berdasar yang sengaja diumbar. Menjadikan semua yang ada di tempat ini kehilangan kepercayaan, kehilangan nyali, dan yang lebih parah lagi: kehilangan hak asasi.

Ketakutan yang, bahkan, sudah teramat menahunnya hingga layak disebut tirani. Bagaimana tidak? Ketakutan ini dipelihara bak putri di istana, diwariskan turun temurun dari kakak kelas ke adik kelas, dari dosen ke mahasiswa, dari kakak kos ke adik kos. Bertahun-tahun, ketakutan ini melekat erat bahkan menyatu di dalam kepala. Ketakutan yang sejak dulu selalu membuat saya gerah. Kenapa harus setakut ini??

Pun dengan saat ini. Rasanya mustahil mengikis warisan takut yang tak kunjung pudar, bahkan semakin kesini malah semakin meruyak. Sejak saya berada di bangku eksekutif mahasiswa, bahkan di tataran kabinet, semakin mengenal dengan para pembuat keputusan, semakin dekat dengan para penggerak, semakin saya tau penyakit takut ini justru lebih besar dari yang seharusnya. Namun nyatanya, atau bahkan mirisnya, semua merasa baik-baik saja. Semua, kecuali segilintir orang yang sadar bahwa dirinya sedang digadaikan saat ini.

Tak ada yang salah dengan sistem kontrak, dimana kita masuk dengan dengan segala konsekuensi yang ada. Sejak, bahkan, kita belum genap menginjakkan sepenuh kaki di tempat ini, ada sistem hak dan kewajiban yang harus dipatuhi. Iya, kami harus begini, dan begitu. Menaati ini, dan menaati itu. Tapi rasa-rasanya semua hanya berputar di kewajiban. Hak kami, mana? Ibaratnya, kami telah menggadaikan masa kini, masa depan, dan kami harus menerima kenyataan bahwa kami tetap harus menjadi anak manis yang duduk diam bahkan ketika semua kewajiban telah tertunaikan namun nasib dengan nyata-nyatanya digantungkan.

Tidak ada yang salah dengan gagasan mengabdi pada negeri. Iya, sama sekali tak ada yang salah. Yang salah hanyalah ketakutan yang tiba-tiba menjadi sangat menghalangi kemampuan diri untuk bertanya. Meminta kejelasan. Hanya sebatas itu.

Ah, jangan macam-macam, nanti nasib kita semakin digantungkan.

Jangan berbuat yang aneh-aneh, nanti dimarahi, dapat surat, dikeluarkan.

Sudah, diam saja, tunggu saja semuanya. Memang birokrasi itu lama, sabar ya.

Tidak perlu bertanya, nanti ga dijawab juga, yang ada malah dimarahi.

Udah, ga usah ikut-ikut, kita masih disini, nanti di drop out. Biar mereka saja yang ngurusi.

 

Ya Rabbi, baru saya sadar sesadar-sadarnya tempat ini memang bukan tempat untuk melahirkan para kesatria. Bukan tempat bagi mereka yang mau berteriak lantang demi kebenaran. Bahkan untuk ukuran paling sepele sekalipun: menulis surat terbuka, untuk seorang tuan berdasi yang tak kunjung memutuskan nasib kakak kelas kami.

Apa yang salah dengan menyampaikan pendapat? Menanyakan kejelasan nasib seribu tujuh ratus orang?  Meminta dengan sangat sopannya, dengan bahasa khas intelegensia, dengan pemikiran terbuka, apa salahnya? Bukankah memang itu yang sebenar-benar dirasakan? Yang dirasakan oleh mereka yang enam bulan dianggurkan, yang dirasakan oleh mereka yang meminta kejelasan, yang bahkan juga dirasakan oleh saya dan teman-teman.

Yang saya pahami, Allah tak akan mengubah keadaan suatu kaum jika kaum itu tak mau mengubah keadaan mereka sendiri. Jika yang dilakukan kini hanya duduk diam dan menanti pengumuman, maka bersiaplah untuk lebih lama digantungkan. Namun jika masih tersisa keberanian untuk bersuara, maka tak ada yang salah. Bukankah, semua ini adalah upaya untuk menjadikan keadaan kita semua jadi lebih baik? Ini adalah upaya, terlepas dari segala konsekuensinya.

Dan—sepemahaman saya—mencoba selalu lebih baik daripada tidak berjuang sama sekali.

2 thoughts on “Tirani Ketakutan

Leave a reply to mutsaqqif Cancel reply